Mengalir bagai sawah di penuhi selokan air-air kehidupan
Dagingpun dengan leluasa berkilaran
Mengelilingi tulang-belulang kematian
Menanti tabir nasib keabadian
Dengan kehancuran kemolekan tubuh
Semua itupun tak berarti
Tegak energisitas membasahi
Tusukan-tusukan makna akan arti kealpaan
Tatapan kekosongan terhadap apa yang di sebut hati nurani
Diapun di berangus sekian rupa
Membutakan setiap tamaram hati
Kabut pun bertaburan-berkerjaran
Melingkupi semesta kehidupan
Di ruang sudut-sudut pojok
Di bilik penjuru dunia sana
Menari di kegelapan siang
Mengikuti irama nyanyian longlongan serigala
Haus akan darah nafsu kebinatangan
Koraban pun dari kita
Terus menambah pundi-pundi keganasan-nya
Tak satupun yang mampu
Kecuali atas kehendak- sang pencipta
Kamis, 17 Juli 200
Catatan di Siang Bolong
Mataku menatap sinis keluar jendela
Mengamati terik mentari di siang bolong
Terasa panas menyanyat mata dan kulit
Akupun tak kuasa, akhirnya aku mengalah akan kebesaran-Nya
Bibirpun tanpa terasa, terucap kata mulya
“Maha besar ” terucap dalam bisingan angin sepoi-sepoi
Di tengah kebisingan dunia
Dan kicauan burung semakin menambah
Kemantapan hati, sungguh di tengah itu
Sunyi, senyap tuk selalu bertasbih pada-Nya
Di luar dukaan akal dan fikiran
Hati nurani, entah aku tak tahu hati apa itu
Berdzikir tiada henti, terus meminta
Dan memohon kealpaan badan
Tuk ikut berkreasi dengan-Nya
Sampai kapanpun badan tidaklah
Kan pernah mapu mengiringi
Pencarian spritualitas hat, ia tercipta
Hanya sebatas melengkapi kerja nyata hati
Tapi dengan jasa itulah badanpun tak tergantikan
Balas jasanya terhadap bentuk apapun jua
Sungguh hati nurani banyak berhutang budi padinya
Maka terciptalah surga sebagai pembalas kebaikannya
Merekapun ikut tercipta karena kelalainnya.
Pukul 13: 00 17 Juli 2008
MELENGKAPI CERITA SIANG
Aku langkahi selangkah perjalanan hidup dengan sejuta warna, mewarnai lorong-lorong perjalanan dua dimensi badan dan batin – membiasi alam sekitar dengan sejuta percikan kedamaian hati, mengarungi lautan dan darat. Tanpa kusadari pada hari itu ku injkkan kakiku di atas bumi annuqayah, yang akan selalu terkenang dalam memeoriku – bahkan sepanjang hidupuku terheran- heran tak percaya akan kehadiranku di pondok pesantren annuqayah latee yang di ampu K.H Tuan Ahmad BasyirAS. Begitulah memori itu masih terkenang sampai sekarang, bahkan ketika kutulis catatan kecil ini sambil membayangkan akan kedatanganku yang di iringi bapakku sendiri. Beliau sengaja mengantarkan akan perjalannku dalam mencari kerelahan Tuhan. Seungguh aku hanya bisa membalas jasa beliau dengan seribu pengabdian dan do’a, semoga beliau mendapatkan segala ridho Allah SWT. Begiutulah caraku membalas stiap keabadian yang telah mereka beikan padak. Akupun tak kuasa membalas jerih payah mereka dengan sejuta materi, karena aku menyadari terhadap keterbatasan yang aku miliki.
Seiring bergesernya waktu merubah segala sisi-sisi kehidupan, termasuk perubahan itu ada dalam diriku untuk selalu menyadari akan kehadiranNya, memperkuat identitas manusia taqwa. Ku beranikan diri menyapa pahitnya kehidupan dengan mendaftarkan diri untuk menjadi murid (santri) K ahmad basyir AS. Akhirnya aku resmi mengabdidi pondok pesantrenK. tuan begitulah semua teman-teman santri menyebut beliau, sebuah sebutan menghormati bagi sosok yang memmpunyai kharismatik tinggi. Sudahtiga tahun lebih, aku tinggal di pesantren ini yang kurang lebih sama dengan awal kedatangankuy –tak sekadar sosok yang di liputi keterbelengguan fikiran akan hati yang pesimistis terhadap makna hidup
Kutapaki segala arah kebimbangan dengan sejuta ketidak pastian. Mungkinkah aku termasuk sosok serius di atas makna ketidak seriusan, sehingga aku tak bisa menyadari kehadirannku di tengah-tengah beragamnya kehidupan. Kurtak bisa menyerap secara sempurnan makan segalanay. Semua itu terhijab dengan ketidak jelasan memahami hakikat kehidupan. Kuterus tapaki kerasnya kehidupan walau sejuta halangan rintangan mengahantam menusuk nusuk jiwaku hampir tercabik cabik seiirng perputaran waktu-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------makanailah kalimat garis itu sebagai jeritan panjang akan keperihan hati :”Ya Allah” aku harus bagaimana bahkan saat ini kutak mengerti akan diriku sendiri. Ya Allah sungguh aku bingung dan tak paham segalanya. Kutalk mngerti akan kehendakku. Aku pengen menangis sekeras mungkin hingga aku merasa puas melampiaskan hasrat kepuasan dan pentyeslaan sedemikai rupa. Tapi aku malu padahal kepedihan itu sangatlah terasa --------ku tak pernah paham akan segalanya – akulah yang paling tidak mengerti segalanya.
Bersambung………….!
Seiring waktu terus berjalan keburaman terus menjadi bergentanyangan mengahtui setiap detik anfas jiwa manusia
Islam adalah agama dan jalan hidup bagi semesta alam yang berdasarkan kepada firman Allah yang termaktub daalam alqur'an dan sunnah rasulullah. Ada beberapa seperangkat peraturan yang mengikat pada kehidupan manusia dari berbagai aspek kehidupan manusia menjadi tetap beradab dan bernilai ibadah jika saja semua praksis itu di orientasikan kepada Tuhan. Merujuk dalam ikatan pernikahan dalam islam terkandung beberpa nilai yang bersifat sakral, di mulai dari pertama (khitbah) sampai ia menjadi suami-istri, tidak lepas dari berbagai nilai dan aturan yang bersifat religius yang harus di taati. Namun dalam tulisan makalah ini lebih menitik beratkan pada pembahasan wali dan saksi nikah sesuai dengan cover pemahaman para intelektual islam dalam memahami hukum-hukum Allah (syari'ah).
Penulisan ini sengaja menyajikan sedikit banyak mengakomodir pendapat para ulama' klasik, sehingga para khalayak pembaca dapat sedikit tersumbangkan dari tulisan ini untuk lebih mendalami dan memahami pendapat para ulama', terutama mazhab yang empat. di antara sekian argumentasi para intelektual islam klasikmenyertainya dengan dalil dan metode analitik yang cukup di terima oleh akal (logis) dan tuntutan itu hadir di hadapan kita untuk lebih bijak dalam memilih pendapat serta pilihan itu dapat dipertanggungjawabkan, karena penulis menyakini diantra para founding father mazhab adalah juga manusia yang tidak mungkin selalu benar 100% dalam menyikapi suatu hukum, baik dari segi interpretasi, metode berfikirnya, pendakatan yang di pakai atau bahkan dari segi kapasitas keilmuan yang mereka miliki dan mustahil terlepas dari kepentingan semuanya ada kepentingan baik politik, kolektif maupun individu dll. Tetapi bukan berari penulis meragukan pendapat para khazanah intelektual islam, mengingat hasil interpretasi mereka berada dalam tataran dhonni yang bersifat sangkaan saja, kalau di presentasekan nilai kebenarannya mencapai 75% dan bukanlah kebenaran sejati itu sendiri , maka dari itu menyikapi hukum haruslah dengan memakai pendekatan logika pradoksal, bukan dengan logika linear , sehingga dapat tercipta sebuah hukum yang benar-benar membumi di kalangan umat manusia.
B. LATAR BELAKANG MASALAH
Problematika kehidupan manusia senantiasa di mulai sejak manusia memahami dan dapat mengenal arti kehidupan, begiupun manusia sebagai subyek maupun obyek dalam mengembang biakkan manusia yang lain dan media yang di pakai dalam islam adalah dengan adanya sebuah ikatan pernikahan, tanpa adanya pernikahan hubungan anatara laki-laki dan perempuan adalah tidak di benarkan, bahkan hasil produkisnya mendapatkan predikat lebel tidak halal alias haram (zina). Sebelum menginjak lebih jauh dalam jenjang persoalan pernikahan ada beberapa rukun serta kewajiban yang harus di lakukan, termasuk wali dan saksi nikah. Ada sebagian ulama' berpendapat pernikahan tanpa wali dan saksi nikah adalah tidak syah, mak aotomati s wal dan saksi nikah adlajh sangat di butuhkan dalam pernikahan dan argumen ini, di sertai dengan beberapa argumentasi-analitik yang sulit untuk di bantah. Sedangkan pada sisi mengatakan tanpa wali dan saksi nikah pun dalam pernikahan tetap syah dengan syarat harus memuhi kriteria lain.
Di sinilah penulis mencoba mengulas dari hasil interpretasi ulama' yang cukup aktual dan kontroversial, untuk di jadikan sebagia rujukan dan untuk mengetahui lebih dalam tentang pernikahan, karena realitas yang terjadi, ada sebagian pernikahan dengan tanpa menghadirkan wali dan saksi nikah, tetapi dengan kriteria yang lian yangharus dipenuhi dan pemahamn sperti in di kalangan kita suatu hal yang masih tidak lazim di dalam tardisi intelektual islam indonesia dan masih terdapat banyak praktek-praktek yang cukup janggal di benak kita semua.
C. PEMBAHASAN
a.Definisi Wali Nikah
secara etimlogis, alwilayah (wali) ialah berasal dari ungkapan wala' asy-syaya' wa ala' alayh iwilayatan/walayatanyang berarti"Mengusainya". ada juga yang mengatakan wala' fulanan wilayatanwa walayatan"membantu dan menolongnya". Sedangkan alwalayatan di tafsirkandengan pertolongan, sedangkan al wilayat di tafsirkan kekuasaan dan kekuatan[1]. Dari makna demikian di sebutkanlah bahwa wali bagi seorang wanita ialah yang mempunyai hak/kekuasaan untuk melakukan akad pernikahannya dan ia tidak membiarkannya di ganggu oleh orang lain.
Sedangkan dalam pengertian terminologis perwalian (wilayah) ialah kekuasaan secara syariat yang di miliki orang yang berhak untuk melakukan tasrharuf (aktifitas) dalam kaitan dengan keadaan/urusan orang lain utnuk membantunya.[2]dan ada pemahaman lain tentang wali perwakilan dengan definisi suatu wewenang syar'ie atas segolongan manusia, yang di limpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang di kuasai tersebut, demi kemaslahatan sendiri.[3]. semua pengertian ini mengacu kepada kodrat kemanuisaan di mana perempuan sangat membutuhkan kehadiran wali.
b. Urutan Wali Nikah
Ada beberapa macam wali yang dapat bertindak sebagai wali nikah antara lain sebagai berikut;
a.. ayah
b. kakek dan seterusnya keatas dari garis laki-laki.
c. saudara laki-laki kandung.
d. saudara laki-laki seayah
e. kemenakan laki-laki kandung
f. kemenakanan laki-laki seayah
g. paman kandung
h.paman seayah
i. saudara sepupu ;laki-laki kandung
j. saudara sepupu laki-laki seayah
k. sultan/ hakim
diantara uratan di atas, yang harus menjadi wali nikah sesuai dengan urutannya.
C. Macam- Macam Wali Dalam Islam
1. Wali Nasab.
Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang mempunyai hubungan darah patrinial dengan calon mepelai perempuan. Wali nasab terbagi menjadi dua a). wali mujbir, yaitu wali nasab yang berhak memaksakan kehendaknya utnuk menikahkan calon mempelai perempuan tanpa meminta izin kepada wanita yang bersangkutan hak yang di miliki oleh mujbir di sebut dengan hak ijbar. Wali yang memiliki hak ijbar ini menurut imam syafi'ie hanya ayah, kakek dan seterusnya keatas. Para ulama' berpendapat bahwa wali mujbir dapat mempergunakan hak ijbar, apabila terpenuhi yarat sebagai berikut:
a)Antara wali mujbir dengan calon mempelai tidak ada permusuhan.
b)Laki-laki pilihan wali harus sekufu' dengan wanita yang akan di kawinkan
c)Di antara calon mempelai tidak ada permusuhan
d)Maharnya tidak kurang dari mahar mistsil
e)Laki-laki pilhan wali akan memenuhi kewajiban terhadap istri dan tidak ada kekawatiran menyengsarakan.
b) wali nasab biasa, yaitu wali nasab yang tidak mempunyai kewenangan untuk memaksa menikah tanpa izin/ persetujuan dari wanita yang bersangkutan. Dengan kata lain wal ini tidak memunyai kewenangan mempergunakan hak ijbar.
2.Wali Hakim
Wali hakim adalah wali nikah yang di tunjuk oleh mentri agams / pejabat yang di tunjuk olehnya, yang di beri hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah, tetapi wewengan wali nasab berpindah ketangan wali hakim apabila;
a.ada pertentangan di antara para wali itu
b. bilamana wali nasab tidak ada atau ada tetapi tidak mungkin mengadirkannya, atau tidak di ketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal/enggan. Wali adlal adalah wali yang enggan menikahkan wanita yang telah baligh dan berakal dengan seorang laki-laki pilihannya.
Sabda Nabi SAW.
……………………………………………..
………………………………………
Wanita mana saja yang nikah tapa izin walinya pernikahaannya itu batal, pernikahannya itu batal apabila sang suami telah melakukan hubungan seksual si wanita itu sudah berhak untuk mendapatkan maskwin lantaran apa yang telah ia buat halal pada kemaluan wanita itu. Apabila para wali itu enggan, maka sultanlah yang menjadi wali orang yang tidak ada walinnya.[4]
Syari'at islam menetapkan adanynya wali hakim iniadalah untuk menghadirkan kesukaran pelaksanaan suatu pernikahan, sedangkan pernikahan itu meurpakan kebutuhan dan pelaksanaan pernikahan itu adalah wajar karena wanita itu ingin di nikahkan kepada seoarang laki-laki yang sepadan dan sanggup membanyar mahar mitsil, sedangkan wali nasab tidak ada, atau tidak mau menikahkannya , apabila kedua calon mempelai tidak mau menunda pernikahannya sampai ada wali nasab, maka hakimlah yang bertindak sebagai wali nikah, sebab ada hadits yang isinya tidak dapat menunda masalah nikah ini manakala sudah wajar.
Sabda nabi SAW:
Artinya; Ada tiga perkara yang tidak boleh di tunda –tunda yaitu; sholat bila telah waktunya, jenasah bila telah siap untuk di kebumikan dan perempuan bila ia telah di temukan dengan pasangannya yang sepadan.[5]
D. Syarat Wali Dan Saksi Nikah
Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad perkawinan oleh karena itu tidak semua orang dapat di terima menjadi wali atau saksi, tetapi hendaklah orang orang yang memiliki berbagai sifat berikut;
islam
baligh
berakal
laki-lakio
adil
laki-laki, persyaratan yang terakhir ini sesuai dengan sabda nabi:
Aritnya: Dari abu r.a bahwa rasullullah saw. Bersabda: perempuan tidak boleh menikah perempuan lainya dan tidak boleh pula menikahkan dirinya (HR ibnu majah dan daruqutni)[6]
E. Kedudukan Wali Di Mata Hukum
Madzhab malikiyah, syafi'iyah, hambaliyah, serta mayoritas fuqaha elah sepakat pentingnya keberadaan wali dalam akad pernikahan. Setiap pernikahan tanpa menghadirkan wali maka pernikahan tersebut menjadi batal-tidak sah. Jadi, seorang perempuan tidak mempunyai hak untuk melangsungkan akad pernikahan dengan sendirinya secara langsung dalam kondisi bagaimanapun. Hal ini para ulama mendasarkan pendapatnya pada hadits nabi saw, yang diriwayatkan oleh ibnu hibban. Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh imam ahmad dan imam yang empat hadits dari abi burda ibnu musa nabi bersabda:………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………...[7]
Artinya: dari Abu Burda ibnu Abu Musa dari ayahnya, r.a. bahwa rasulullah saw bersabda: " tidak sah nikah kecuali dengan wali". Riwayat Ahmad dan Imam empat. Hadits shahih menurut Madiny, Tirmidzi dan Ibnu Hibban.
Menurut pendapat ulama', maksud hadits di atas, kata "la nikaha illa bi waliyyi" adalah penafsiran diarahkan, baik kepada zat syariah (substansi syariat)sebab zat yang ada, yakni gambaran akad tanpa wali bukan merupakan syariat. Atau, penafian tersrbut diarahkan atau dimaksudkan kepada sah, yang hal itu merupakan salah satu diantara dua kiasan yang paling dekat kepada zat-yang dinafikan, sehingga nikah tanpa wali menjadi tidak sah (batil).
Sementara madzhab Hanafiyah mengatakan bahw awanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri calon mempelai pria dan boleh melakuka akad dengan sendiri, ia mendasarkan pendapatnya pada firman Allah SWT…………………………………………………….
Artinya: " maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka-wanita-wanita menikah dengan bakal suaminya (QS: 2:232).
Menurut madzhab Hanafiyah maksud kata nikah disandarkan kepada mereka dalam kata "an yankihna", - adalah berarti sah pernikahan mereka tanpa wali.[8].
Dalam pandangan penulis, pendekatan yang dipakai oleh Hanafi yang berbeda ini dipengaruhi oleh letak geografis dan latar belakang budaya sosial yang berkembang di masyarakat pada waktu itu. Sehingga penafsirannya cenderung lebih elastis dan terbuka. Hanafi adalah seorang ulama yang tinggal di wilayah perkotaan metropolitan, dimana tingkat dan kapasitas keilmuan seseorang tidak membedakan jenis kelamin. Sehingga wanita pun memiliki hak otoritas untuk menentukan suatu hukum (dalam hal ini masalah nikah).
Jika dikontekstualisasikan di jaman sekarang dimana "kehidupan" wanita sudah tercerahkan dan peran serta kemampuan mereka tidak jauh berbeda dengan laki-laki maka tidak menutup kemungkinanada beberapa revisi dalam satus wali nikah shingga wanita dapat menentukan sendiri siapa calon suaminya walaupun tanpa haru menghadirakan walinya.
*Penulis adalah Santri PP. Annuqayah LateeGuluk-guluk Sumenep Madura, sekaligus Mahasiswa STIK-Annuqayah Konsentrasi pada Jurusan Mumalah.
[1] Prof. Dr. HJ. Huzaenah tahido yanggo, MA, Fiqih Anak Metode Islam Dalam Mengasuh Dan Mendidik Anak Ser
ta Hukum- Hukum Yang Berkaitan Dengan Aktifitas Anak, Jakarta Sel: PT Almawardi Prima, 2004, hal: 306-307.
Perkembangan teologi kerapkali mengesampingkan berbagai macam antropologi dan serangkaian sejarah masyarakat tertentu, budaya dan situasi politik dan kebenaran yang tidak akurat. Berangkat dari pandangan ini berarti, persamaan sistem teologi dan fungsi ideologi seperti tembok Berlin, meskipun secara kekuatan dan diberbagai aspek bisa mengindikasikan persamaan keduanya dengan saling melengkapi, memperkuat dan melestarikan simbol budaya serta tembok bisa melahirkan pengaruh kekuatan pada sesama temboknya. Karena kami sama sekali tidak bisa mengembangkan serangkaian teori strategis yang bisa digunakan untuk merobohkan tembok dan kami tidak bisa menjelaskan antropologi yang sebenarnya, budaya tempat bersejarah – penafsiran terhadap budaya yang diwariskan, serta sistem simbolik yang representatif untuk hari ini dan masa yang akan datang. Tembok bukan hanya bisa melahirkan pengaruh, tapi tembok itu kuat, sebuah bangunan yang kokoh. Jika boleh saya katakan juga bahwa pengaruh tiga peristiwa penting yang terjadi tahun 20-an yang lalu, namanya, malapetaka mengerikan (Holocoust, pejabat yang ateis) menjatuhkan ribuan komunis pada tahun 70-an dan gerilya negara Israel terhadap tentara kolonial, orang sekuler negara eropa tidak lagi memperhatikan simbol konflik/gerakan keagamaan mempertahankan tanah leluhur/janji leluhur/tri darma leluhur/kesucian kumpulan legendaries. Saya berpendirian bahwa tradisi agama telah dijalankan dan akan tetap dijalankan seperti regulasi politik dan pada akhirnya akan dijadikan batu loncatan untuk meraih kekuasaan. Beberapa waktu kemudian, kendali sejarah ini dipertahankan oleh agama, sebagai tahap awal pengejawantahan teologi yang tidak akan sukses dalam menyeimbangkan pengaruh agama/liciknya politik yang memobilisir kekuatan ideologi. Berikut ini kami akan sajikan teori isu lainnya, barangkali sudah pernah dibicarakan yaitu tentang kebebasan beragama. Dialog itu terkenal dan diterima dengan penuh khidmat. Sehingga melihat dari fungsinya, itu seperti menyerupai ucapan dan representasi dari keagungan tuhan yang kemudian diganti dengan kata penguasa kerajaan, raja, pemerintah, sultan atau presiden
Idzinkan saya menjelaskan apa yang saya lakukan. Saya mengutip pelan-pelan secara komprehensif, tidak tendensius, prinsipil tentang ketidak pedulian pada konsekuensi agama, sejarah, solidaritas budaya dengan komunitas muslim. Tapi saya tahu bahwa komunitas lain juga akan bertentangan dengan persoalan teori. Hingga saya khawatir konsep wahyu yang telah disederhanakan, dispesifikasikan, dibuang kemudian akhirya dilenyapkan oleh ilmu pengetahuan dan penelitian yang menjadi pioneer kekeramatan. Saya mencoba merevisi problema klasik dan grand design (landasan dasarnya), dualisme (aliran kiri dan kanan), sastrawan esensialis, ahli mantiq, sejarawan, positivisme, ilmuan professional dalam skill dan terjemah menjadi seorang yang pluralis, punya beragam masalah yang kompleks, tidak respek terhadap wahyu yang universal, memaksakan refrensi dari berbagai buku. Sehingga itu menurut saya penting untuk menunjukkan bahwa semua hasil diskusi didapat dari firman tuhan semesta. Maksudnya adalah untuk menafsirkan dan menggunakan firman tuhan untuk menyusun struktur antopologi agama, politik dan amanah sosial. Sedangkan kontrol terhadap struktur itu adalah merupakan tugas sejarawan yang memperbaharui ilmu psikologi, budaya, proses politik yang diawali dengan landasan wahyu, terus diformat untuk melahirkan persaingan antara pengendali kekuatan dua gesekan medan tersebut serta penyelidikan terhadap maksud dan kehendak sang pencetus. Aziz al-Azmeh hanya mengutarakan sisi baik dan kesesuaian analisa proses sejarah seperti mencari kontroversi pada masyarakat timur tengah dan memperluas pengertian terhadap apa yang disebut Muslim, Kristen dan Praktisi politik.
Saya memutuskan untuk tidak menyalahkan beberapa pemahaman rasionalis, tentang wacana ilmu pengetahuan yang digunakan dalam tradisi agama lain. Bahkan saya lebih berharap untuk mengenalkan sebuah kategori antropologi guna memperjelas bagaimana persepsi yang benar dan semua bahasa yang digunakan untuk kemaslahatan semua kenyataan ini, yang dikutip dari rasio, menganalisa rangkaian kerja dalam gumpalan imajinasi dari representasi mental dan luapan emosi. Dengan kata lain, imajinasi adalah gudang ilmu pengetahuan ; imajinasi berperan dalam aktivitas ini seperti sebuah wadah hayalan dan sebuah kekuatan sosial. Reaksi hayalan ini seperti indahnya kebenaran, nilai yang tidak kontroversi selama kelompok yang pro terhadap pentingnya pengorbanan anggota group yang tidak ada dalam nilai universal menjadi relawan dan memupuk ghiroh pengorbanan, dimensi pengetahuan untuk nilai-nilai itu. Kelanjutan sejarah, sosial, proses psikologi serta kumpulan memory ini diperkaya, imajinasi sosial dicoba dan dilestarikan, tapi penyesuaian, kritik, identifikasi rasio tentang kebenaran klasik sejarah kekinian dari kelompok minoritas, tidak terkenal dan lamban. Pengertian dan kesalahan epistimologi yang saya prioritaskan seharusnya dikonsentrasikan pada simbol islam adalah salah satu yang siap ditampilkan untuk tradisi Kristen protestan, tapi masih dibiarkan, ditolak dan ditentang ketika wahyu itu sendiri masuk dalam rancangan investigasi.
Kesesuaian yang dimaksudkan di sini adalah lambannya pemahaman rakyat sipil di barat, yang mana fakta logis dalam serangkaian dua aspek dan berkala. Pernyataan ini dikonstitusikan pada faham Hellenisme dan pemahaman representasi serta institusi Roma-Byzantium, yang mana pemahaman itu sendiri telah sangat sempurna dengan sebutan negara Orientalis adidaya dan kejayaannya beredar di kebangsaan Persia utara dan Babylonia kuno, lebih-lebih daerah terpencil Mesir. (A. al-Azmeh, op. cit. p. k.).
Sebelum pindah pada prosesi transformasi (perubahan) tradisi orang islam, lebih akuratnya silahkan cari dalam Al-Qur’an tentang negara suci yang nantinya akan dimanipulasi oleh agen yang otoriter dan yang tidak otoriter melalui pertanyaan-pertanyaan yang relevan, melalui perangkat dan semua metode yang diinginkan. Saya siap menunjukkan beberapa kumpulan Essai yang ada dalam literatur saya. Saya akan mengambil sebuah perumpamaan dalam sura 96, karena sangat mungkin untuk menemukan fakta dan definisi yang lebih akurat dalam tradisi islam Ortodoks.
(Terjemahan Arbery )
Segumpal darah
Dengan nama Tuhan yang maha peyayang dan maha pengasih
Mendeklamasikan: dengan nama Tuhanmu yang menciptakan
Manusia dari segumpal darah.
Bacalah: dan Tuhanmu yang mahamulia.
Yang mengajarkan (manusia) dengan pena
Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya
Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampui batas
Apabila melihat dirinya serba cukup
Sungguh, hanya kepada Tuhanmulah tempat kembali (mu)
Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang?
Seorang hamba ketika dia melaksanakan salat
Bagaimana pendapatmu jika dia (yang dilarang salat itu) berada di atas
kebenaran (petunjuk)
atau dia menyuruh bertaqwa (kepada Allah)?
Bagaimana pendapatmu jika dia (yang melarang) itu mendustakan dan berpaling?
Sekali-kali tidak! Sungguh, jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya
Kami tarik ubun-ubun irang yang mendustakan dan durhaka
Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya)
Kelak kami akan memanggil malaikat zabaniyah (penyiksa orang-orang yang berdosa)
Sekali-sekali tidak ! janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah
serta dekatkanlah (dirimu)
Menurut penafsiran klasik, surah ini pada Mushaf 96 adalah wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad di Gua Hira oleh malaikat jibril, ditunjukkan dengan semangat ruh. Malaikat mengucapkan kepadanya (Muhammad) sebanyak tiga kali “Bacalah Dengan Nama Tuhanmu” dan Nabi Muhammad menjawab“Saya Tidak Tahu Bagaimana Untuk Membaca”. Cerita ini adalah suatu penuturan sesuai dengan kenyataan dalam proses penggunaan selama penurunan wahyu dari Tuhan kepada semua manusia melalui Nabi Muhammad dan melalui Malaikat jibril dengan terus-menerus sedang –dari Tuhan (surga) ke Nabi Muhammad (di Bumi ) untuk membawa wahyu, seperti dia datang kepada Yesus dan Nabi yang lain, yang dijelaskan dalam kitab injil. Demikian, malaikat Jibril menjamin keautentikan wahyu mulai dari Nabi Adam sampai kepada Nabi Muhammad. Banyak diceritakan dalam buku “Qishah Al-Anbiya” (Kisah Para Nabi), terutama yang dikoleksi oleh dua orang muallaf Yahudi, Ka’b al Ahbar dan Wahb Ibn Munabbih, dengan menyediakan dasar metodologi yang menjelaskan keadaan lingkungan sosio-kultur di dalam tiap-tiap kitab suci (fragment lisan atau seperti menggunakan istilah bahasa, sebuah unit teks) untuk al qur’an yang diungkapkan. Kisah ini menunjukkan kuatnya hubungan antara interpretasi al-qur’an dan pengkhayal beragama yang berlaku selama abad ke 1-3 Hijriah di daerah dekat-Timur “(kelompok sektarian)”. Pengertian yang mengagumkan seperti kategori phisikologi–kultural ditujukan pada semua kisah dan sudah diperhitungkan pada diskursus al-qur’an, pandangan terhadap wahyu masih terus menjadi dominan sampai hari ini dengan pengertian yang mengagumkan dan kekuatan supranatural sebagai dasar pembangunan kebudayaan untuk ilmu pengetahuan mistik dan bagi yang beriman menyebutnya “kebenaran beragama”.
Surat itu menganjurkan tema wahyu artikulasi bahasa dan diskursusnya. Tuhan tampil sebagai sentral figur; dia mengatur keseluruhan diskursus, gramatikal, retorika dan semantik dari wahyu. Tetapi ada dua protagonis lain, yaitu firman yang dialamatkan kepada Nabi dan Manusia, obyek dan tempat tujuan akhir untuk semua pekerjaan inisiatif yang jelas. Struktur gramatikal untuk surat itu menunjukkan hubungan personal antara “kami” engkau (Muhammad) “kamu” (pengikut), “mereka” (orang-orang) dan “dia” (manusia ) yang mana merupakan dasar institut, tempat yang konstan untuk komunikasi dan makna di dalam keseluruhan diskursus al-qur’an. Semua kisah itu mulai dari norma, tema, kontreversi, keterangan, pengajaran memperlihatkan peristiwa lebih dari 20 tahun sebagaimana firman Tuhan diartikulasikan dalam meliputi hirarkhi yang sempurna. Dua ini, Tuhan sebagai asal-usul ontologi dan tempat tujuan terakhir permohonan untuk semua makhluk, efektifitas, arti dan peristiwa di muka bumi ini dan Nabi Muhammad sebagai mediator antara Tuhan dan Manusia. Sebagai manusia pilihan, meminta untuk menyampaikan kehidupannya kepada pencipta. Ada tensi permanen antara Tuhan dan manusia/ orang-orang ((dia, mereka). Wahyu mengharap untuk meminta manusia dan membimbing kepada-Nya “garis edar kebenaran” utama kepada keselamatan abadi. Itu melawan pendurhakaan dan Tuhan melawan pemberontakan yang dialamatkan kepada tiga jiwa dan meminta untuk memahami lebih baik kepada status kematian dan takdir mereka. Ini bukanlah oposisi dualistik statis, tetapi sebuah ketegangan kontinuitas dialektik kesadaran dalam menimbulkan rasa bersalah. Demikian manusia sadar transformasi subyek yang mencerminkan etika dan hukum, bertanggungjawab pada setiap gagasan, tindakan dan inisiatif dalam menciptakan kehidupannya.
Mayoritas tiga aspek diskursus al-qur’an yang harus ditambahkan diantaranya 1) Susunan Metafora 2). Struktur Semantik 3) Inter-tekstualitas
Disini juga, ada anjuran al-Qur’an yang telah dilalaikan, keduanya ilmu pengetahuan orang Islam dan Pengetahuan Orientalis. Banyak usaha yang dibuat untuk mengaplikasikan istilah modern dan konseptualisasi diskursus al-Qur’an tanpa sedikit ada kelonggaran istilah teologi.
Penafsiran ortodoks masih dibatasi oleh istilah tradisi untuk metafora seperti misal gaya retoris sebuah alat yang digunakan untuk menghiasi gaya bahasa; kata yang diambil dari pemahaman literal mereka, yang dinilai dari perkamusan, bukan dalam sistem konotasi sebagiamana sistem penggambaran Bibel oleh “Northrope Frye” (The Great Code). Ada istilahyang sama di dalam interpretasi antropomorfis seperti “Tuhan Duduk Di Atas Singgasana” “Tuhan Mengajarkan Dengan Pena”, “Tuhan Maha Mendengar” menurut mereka lebih diterima makna literal.
Mereka menyebabkan perdebatan polemik teologi yang sama sekali jauh dari analisis bahasa setepat-tepatnya. Studi pilologika difavoritkan oleh kelompok orientalis juga mengabaikan, memperkembangkan dan mengaplikasikan pada diskursus keagamaan sebuah teori modern metofora dan metonimi. Epistemologi ini mengalami kegagalan, kejelasannya dalam karya klasik Th. Noldeke, R Blachere, J. Wansbrough, D. Masson, R. Paret dan masih banyak lainnya. Semua terjemahan bahasa Eropa menggambarkan pilihan teologi model leluatan. Kontribusi inimerupakan sikap perluasan melebihi tradisi konservatif islam, penyimpangan paradigma teologi, tetapi ia gagal untuk meneruskan teori diskursus keagamaan.
1.( Ia mudah menunjukkan bagaimana komentar kuno dibuang secara total seperti sebuah ungkapan metafora yang jelas seperti“ Tuhan Yang Mengajar Manusia Dengan Pena”, ”Tidakkah Dia Mengetahui Bahwa Sesungguhnya Allah Maha Melihat ” “Niscaya Kami Tarik Ubun-Ubunnya (Kedalam Neraka) “Yaitu Ubun-Ubun Orang Yang Mendustakan Dan Durhaka” ”Malaikat Penjaga Neraka” didalam surat 96 dan surat lainnya. Bagaimana bisa ia menentukan frase ini –ataukalimat metafora yang diambil secara literal? tradisi interpretasi esoteris (batiniyah) menghasilkan sekumpulan literatur yang hebat sekali tentang “pena” “Tuhan Yang Melihat” dan “Malaikat Penjaga Neraka”; tetapi pertunjukan ini hanya diskursus al-Qur’an telah –danmasih bisa digunakan seperti sebuah dalil spekulasi gnostoik dan jalan sebagai sumber inspirasi bagi pengalaman Ketuhanan para sufi. Karya monumental Ibn Arabi mewakili semua tulisan-tulisan Swantra yang menggambarkan berpotensi luas diskursus al-Qur’an diterima oleh kelompok pencipta imaginasi. Tetapi dimesi ini membutuhkan analisis seperti bahan teks di dalam perspektif keluasan intertektualitas diskursus al-Qur’an sebelum –dansetelah munculnya budaya dan sejarah agama para filosof juga mengalegorikan diskursus al-qur’an, tetapi gagal mengusulkan relevansi teori metafor dan menonomi. Kekosongan ini mewakili bab yang panjang dan tak dapat dipertimbangkan –dikarenakan eksistensial dan memberikan prioritas politik kepada teologi dan hukum- dan menghasilkan sesuatu yang tak berfikir dalam pemikiran Islam kontemporer. Tahun lalu, saya merencakan untuk diskursus al-Qur’an, tatapi saya tidak pernah menemukan waktu wajib untuk melengkapi proyek ini yang harus berkarya seumur hidup.
2.) Ucapan serupa dapat dibuat tentang analisis-semiotik diskursus al-qur’an; pada tahun 1970 dan 1980 Universitas di Paris untuk studi semiotik memprakarsai sebuah laboratorium studi terhadap buku keagamaan, sebagian siswa mencurahkan perhatiannya kepada al-Quran. Ketika teori perdebatan membangun peranan subyek manusia di dalam kejadian melawan para strukturalis yang memproklamirkan “Kematian Manusia” Setelah “Kematian Tuhan” Contoh al-Qur’an yang pernah dilalaikan. Kembalinya kepada subyek tanda spekulasi spiritualis dan mengurangi dari analisis bahasa seperti sebauh kebutuhan metodologi sebagai langkah pertama, sebelum pada beberapa penafsiran akan melakukan kolaborasi hukum atau dogma yang akan diselenggarakan oleh pendidirian rezim politik atau otoritas agama. Saya mempertahankan bahwa analisis semiotik masih menjadi perhatian utama, khususnya untuk semua otoritas basis teks keagamaan. Ia menyediakan sebuah kesempatan khusus untuk praktek model penggunaan metodologi unggul yang menahkodai semua tingkat bahasa yang siap menghasilkan arti. Langkah metodologi ini juga merupakan dimensi epistemologi; ia sangat krusial dalam penaklukan intelektual, obyektifitaskritikan, mengenai kepengarahan dan status kognitif diskursus al-Qur’an dan kursus, memperkembangkan kesucian teks untuk membangun fungsionalitas oleh manusia dalam memerintahkan manusia lain. Ketika analisis semiotik bahasa menyelenggarakan koreksi, ia bukan keperluan petunjuk untuk menegasikan pada kebebasan kejadian subyek dan identifikasi makna. Penemuan itu segera dibuat bagaimana seluruh diskursus diekspresikan menurut teknik persuasi. Pembatahan tiap unit teks diskursus dalam istilah semiotik, ia dapat dikatakan tiap unit teks diskursus al-Qur’an rangkaian struktur dramatik pada diagram di halaman 98-99.
Kesungguhan memegang niat dan isi teoritis untuk dua diagram, bangunan seharusnya dibuat di atas “Kamus” oleh Greimas dan Courtes; pembaca teks Inggris bisa juga menggunakan “The Fontana Dictionary of Modern Though”edisi kedua 2, 1998. Bagaiamanapun saya harus meminta dengan tegas metodologi dan pelajaran yang bisa dipelajari dari struktur semiotik metodologi dan epistomologi yang bisa dipelajari dari struktur semiotik yang memerintahkan segala tipe mewakili diskursus dalam al-Qur’an (propertik, bijakasana, naratif, liturgis, legislatif, persuasif, polemik, ironis)
Dan semua level arti untuk setiap unit teks. Satu digunakan dalam hal abstrak teknik terminologi semiotik, bukan demi kerumitan atau “gaya orang-orang Paris” seperti Anglo-Saxon sekular digunakan untuk mengatakan ironis, agar melaksanakan tugas pokok intelektual. Hanya memikirkan pemenuhan fungsi oleh setiap protagonis yang memproduksi hasil terusan oposisi dramatis, kami butuh untuk menghindari keseluruhan arus beban berat kosakata sebagaimana pada abad yang telah lewat teologi bukan konotasi kritik. Secara historis, diskursus teologi sebaik legalitas –kolaborasi lebel seperti (syariah) adalah derivasi dari diskursus al-Qur’an, pemikiran mereka bukan bagian realasi mereka lebih dekat kepada sejarah dan konteks budaya dalam karya dan proyek interpretasi mereka pada teks al-Qur’an yang mereka kumpulkan. Sejarawan telah menunjukkan banyak syair mewakili hubungan kepada kebutuhan teologi tiap generasi adalah meliputi rangkaian transmisi (isnad) dan bagaimana setiap syar’i memproyeksikan pada simbol figur idealis Nabi Muhammad, Ali , Husain, Ibn Abbas, Para sahabat, Imam dan beberapa ilmuan lokal, banyak versi al-Qur’an interpolasi mereka sendiri dalam narasi letaratur pada konsepsi yang disebut “dasar” (Asal-Usul) untuk tradisi kehidupan Islam dan hukum Islam. Semua operasi ini disebut manipulasi semiotik: penafsiran bahasa mereka adalah semiotik karena bentuk narasi dramatis, kerangka kerjanya semua yang didasarkan pada arbitrase dekontekstualisasi dan rekontekstualisasi. Untuk argumen ini disebut “Assbab al-Nuzul”, sekarang ini digunakan sebagai fakta-fakta sejarah yang telah ditampakkan secara keseluruhan menyesatkan karena mereka termasuk pengembangan konteks baru yang membutuhkan kumpulan memori– disebut dalam tradisi kehidupan– tiap-tiap golongan Islam.
Perkembangan teologi kerapkali mengesampingkan berbagai macam antropologi dan serangkaian sejarah masyarakat tertentu, budaya dan situasi politik dan kebenaran yang tidak akurat. Berangkat dari pandangan ini berarti, persamaan sistem teologi dan fungsi ideologi seperti tembok Berlin, meskipun secara kekuatan dan diberbagai aspek bisa mengindikasikan persamaan keduanya dengan saling melengkapi, memperkuat dan melestarikan simbol budaya serta tembok bisa melahirkan pengaruh kekuatan pada sesama temboknya. Karena kami sama sekali tidak bisa mengembangkan serangkaian teori strategis yang bisa digunakan untuk merobohkan tembok dan kami tidak bisa menjelaskan antropologi yang sebenarnya, budaya tempat bersejarah – penafsiran terhadap budaya yang diwariskan, serta sistem simbolik yang representatif untuk hari ini dan masa yang akan datang. Tembok bukan hanya bisa melahirkan pengaruh, tapi tembok itu kuat, sebuah bangunan yang kokoh. Jika boleh saya katakan juga bahwa pengaruh tiga peristiwa penting yang terjadi tahun 20-an yang lalu, namanya, malapetaka mengerikan (Holocoust, pejabat yang ateis) menjatuhkan ribuan komunis pada tahun 70-an dan gerilya negara Israel terhadap tentara kolonial, orang sekuler negara eropa tidak lagi memperhatikan simbol konflik/gerakan keagamaan mempertahankan tanah leluhur/janji leluhur/tri darma leluhur/kesucian kumpulan legendaries. Saya berpendirian bahwa tradisi agama telah dijalankan dan akan tetap dijalankan seperti regulasi politik dan pada akhirnya akan dijadikan batu loncatan untuk meraih kekuasaan. Beberapa waktu kemudian, kendali sejarah ini dipertahankan oleh agama, sebagai tahap awal pengejawantahan teologi yang tidak akan sukses dalam menyeimbangkan pengaruh agama/liciknya politik yang memobilisir kekuatan ideologi. Berikut ini kami akan sajikan teori isu lainnya, barangkali sudah pernah dibicarakan yaitu tentang kebebasan beragama. Dialog itu terkenal dan diterima dengan penuh khidmat. Sehingga melihat dari fungsinya, itu seperti menyerupai ucapan dan representasi dari keagungan tuhan yang kemudian diganti dengan kata penguasa kerajaan, raja, pemerintah, sultan atau presiden
Idzinkan saya menjelaskan apa yang saya lakukan. Saya mengutip pelan-pelan secara komprehensif, tidak tendensius, prinsipil tentang ketidak pedulian pada konsekuensi agama, sejarah, solidaritas budaya dengan komunitas muslim. Tapi saya tahu bahwa komunitas lain juga akan bertentangan dengan persoalan teori. Hingga saya khawatir konsep wahyu yang telah disederhanakan, dispesifikasikan, dibuang kemudian akhirya dilenyapkan oleh ilmu pengetahuan dan penelitian yang menjadi pioneer kekeramatan. Saya mencoba merevisi problema klasik dan grand design (landasan dasarnya), dualisme (aliran kiri dan kanan), sastrawan esensialis, ahli mantiq, sejarawan, positivisme, ilmuan professional dalam skill dan terjemah menjadi seorang yang pluralis, punya beragam masalah yang kompleks, tidak respek terhadap wahyu yang universal, memaksakan refrensi dari berbagai buku. Sehingga itu menurut saya penting untuk menunjukkan bahwa semua hasil diskusi didapat dari firman tuhan semesta. Maksudnya adalah untuk menafsirkan dan menggunakan firman tuhan untuk menyusun struktur antopologi agama, politik dan amanah sosial. Sedangkan kontrol terhadap struktur itu adalah merupakan tugas sejarawan yang memperbaharui ilmu psikologi, budaya, proses politik yang diawali dengan landasan wahyu, terus diformat untuk melahirkan persaingan antara pengendali kekuatan dua gesekan medan tersebut serta penyelidikan terhadap maksud dan kehendak sang pencetus. Aziz al-Azmeh hanya mengutarakan sisi baik dan kesesuaian analisa proses sejarah seperti mencari kontroversi pada masyarakat timur tengah dan memperluas pengertian terhadap apa yang disebut Muslim, Kristen dan Praktisi politik.
Saya memutuskan untuk tidak menyalahkan beberapa pemahaman rasionalis, tentang wacana ilmu pengetahuan yang digunakan dalam tradisi agama lain. Bahkan saya lebih berharap untuk mengenalkan sebuah kategori antropologi guna memperjelas bagaimana persepsi yang benar dan semua bahasa yang digunakan untuk kemaslahatan semua kenyataan ini, yang dikutip dari rasio, menganalisa rangkaian kerja dalam gumpalan imajinasi dari representasi mental dan luapan emosi. Dengan kata lain, imajinasi adalah gudang ilmu pengetahuan ; imajinasi berperan dalam aktivitas ini seperti sebuah wadah hayalan dan sebuah kekuatan sosial. Reaksi hayalan ini seperti indahnya kebenaran, nilai yang tidak kontroversi selama kelompok yang pro terhadap pentingnya pengorbanan anggota group yang tidak ada dalam nilai universal menjadi relawan dan memupuk ghiroh pengorbanan, dimensi pengetahuan untuk nilai-nilai itu. Kelanjutan sejarah, sosial, proses psikologi serta kumpulan memory ini diperkaya, imajinasi sosial dicoba dan dilestarikan, tapi penyesuaian, kritik, identifikasi rasio tentang kebenaran klasik sejarah kekinian dari kelompok minoritas, tidak terkenal dan lamban. Pengertian dan kesalahan epistimologi yang saya prioritaskan seharusnya dikonsentrasikan pada simbol islam adalah salah satu yang siap ditampilkan untuk tradisi Kristen protestan, tapi masih dibiarkan, ditolak dan ditentang ketika wahyu itu sendiri masuk dalam rancangan investigasi.
Kesesuaian yang dimaksudkan di sini adalah lambannya pemahaman rakyat sipil di barat, yang mana fakta logis dalam serangkaian dua aspek dan berkala. Pernyataan ini dikonstitusikan pada faham Hellenisme dan pemahaman representasi serta institusi Roma-Byzantium, yang mana pemahaman itu sendiri telah sangat sempurna dengan sebutan negara Orientalis adidaya dan kejayaannya beredar di kebangsaan Persia utara dan Babylonia kuno, lebih-lebih daerah terpencil Mesir. (A. al-Azmeh, op. cit. p. k.).
Sebelum pindah pada prosesi transformasi (perubahan) tradisi orang islam, lebih akuratnya silahkan cari dalam Al-Qur’an tentang negara suci yang nantinya akan dimanipulasi oleh agen yang otoriter dan yang tidak otoriter melalui pertanyaan-pertanyaan yang relevan, melalui perangkat dan semua metode yang diinginkan. Saya siap menunjukkan beberapa kumpulan Essai yang ada dalam literatur saya. Saya akan mengambil sebuah perumpamaan dalam sura 96, karena sangat mungkin untuk menemukan fakta dan definisi yang lebih akurat dalam tradisi islam Ortodoks.
Masing-masing firqa’, termasukyang disebut sunni ortodok berusaha untuk merepserentasikan ortodoksinya sebagai komunitas yang shaleh. Ini merupakan persyaratan metodologis untuk menunjukkan bagainama wahyu Nabidan rasul Al-quran sunnah dan syariah itu ada sebagai ciri yang konsisten dalam kekuasaan yang sangat imprative yang membentuk struktur pemikiran Islamserta perkembangan sejarah masyarakat kitab. Tidak perlu dikatakan bahwa semua presentasi destruktif ini dari memori kolektif yang terbentuk juga terjadi kepada memori kristen dan yahudi dalam tradisi hidup mereka.
Dalam beberasa essai, saya telah membuat beberapa perbedaan dalam dua aspek status lingusistik wacana Al-quran: status oral dengan protokol komunikasinya yang spesifik termasuk penyampaian oral akan materi husus sarat fisik, tanda semiologis, alat-alat serta mekanismenya untuk menciptakan makna, dengan reaksi audien yang menerima atau menolak, antusiasme atau kemarahan; serta status tertulis ataupun Al-quran sebagai teks. Status oral bertahan dalam bentuk ibadah dibaca oleh orang mukmin begitu juga dalam bentuk kutipan dari teks tersebut. Dua tipe penggunaan oral ini secara lingusistik adalah berbeda dari penyampaian pertama oleh Muhammad Bin Abdullah dari rangkaian pergantian ataupun unit-unit yang berpencar selama kurang lebih 20 tahun. Penyampaian oral yang asli ini tentu diluar jangkauan sejarawan modern; tradisi telah mengumpulkan banyak riwayat pendek tentang kondisi dimana satu ataupun rangkaian ayat diduga diturunkan (asbabbun nuzul) didalam mushhaf seluruh teks tidak dapat di edit dalam urutan kronologis – seandainya kronologi tersebut bisa dicapai- dari apa yang kita sebut sebagai bagian tekstual yang lain. Banyak karya yang sudah dikerahkan dalam masalah ini penelitian mestinya harus berlanjut terutama jika ada kesempatan untuk menemukan manuskrip yang lebih tua. Sejak korpus resmi ditutup, kaum muslim enggan untuk memikirkan keungkinan untuk mengedit Al-quran walaupun hanya demi tujuan untuk mencoba isu-isu penting yang tidak hanya terkait dengan kronologi surat tapi lebih mendasar lagi terkait dengan unit teks asli yang masih sulit di identifikasi.
Teks tertulis dibaca oleh semua orang Islamdalam protokol keimanan yang tanpa kontofersi ataupun apa yang disebut oleh para penafsir dengan al-khu’ie , prolegominatu the quran ataupun premis yang disepakati yang tidak perlu didiskusikan lagi. Terdapat penafsiran atau pembacaan teologis legalistis, mistis serta esoteris dalam tradisi kesarjanaan yang layak bagi masing-masing mazhab (Sunni, Imami, Ismaili, Mu’tazili, As’ari Dan Hambali) komentator kontemporer semuanya bergantung kepada pengarang klasik dalam pendekatan dan opsi dokrtinal mereka, tak seorangpun yang menyarakan dikonstruksi historis atau folosofis terhadap sistem premis yang dilestarikan sebagai bentuk dogmatis yang tidak jelas dari apa yang disebut dalam nalar Islam . Sejak kita diwajibkan membaca sebuah teks pertama kali kita memerlukan teori umum tentang apa yang disebut teks, inilah yang sedang saya kembangkan. Tiga arah kognitif yang saling berinteraksi hendaknya digabung dalam penalaran ilmiah baru yang memiliki bentuk epistimilogi yang berbeda dari bentuk-bentuk sebelumnya yang diadopsi oleh penalaran dalam konteks budaya yang serba tahu, termasuk penalaran hegemonik tele tehno scaintific yang ada sekarang. Terdapat protokol interaktif untuk membaca Al-quran dalam prespektif penafsiran teologis semiotik linguistik dan sejarah antropologis. Secara metodologi pembacaan penafsiran dan teologis hendaknya tidak diusahakan pada dasar kritis yang baru yang didirikan oleh dua pendekatan yang pertama. Artinya : semua prinsip aksiologispostulat serta tema-tema yang sebelumnya sudah sangat mengusai dalam sistem pemikiran hendaknya secata intelektual dan budaya hendaknya di ganti.
3. terkait poin ke tiga ini inter tekstualitas merujuk kepda pembacaan horizontal historis akanwacana Al-quran dalam persepektif the very longo duree (meminjam konsep F. Broudel yang terkenal) termasuk tidak hanya perjanjian lama atau Injil dua kitab utama yang ada dalam wacana Al-quran tapi juga memori budaya dan agama kolektif dari timur dekat kuno surat 18 (al-kahfi) menerapkan contoh yang inter tekstualitas yang sangat luas dalam wacana Al-quran. Tiga cerita ( ashabul khfi, legenda gilgamesh dan novel Alexander ) adalah merujuk pada hayalan budaya yang sangat kuno yang terjadi pada masyarakat timur dekat kuno. Semuanya digabung dalam suatu surah untuk menggambarkan tranmisi pesan tuhan yang sama dan abadi dalam masing-masing cerita yang secaratepat diungkapkan dalam struktur simetikdasar yang diterangkan dibawah ini, terdapat kemunculan protagonis yang menerima pesan tersebut, menggunakan pengetahuannya dan dengan itu ia merubah arah dan eksistensi manusia yang secara total berhubungan total dan ajarannya. Disini kita menghadapi banyak isu teoritis yang mengarah pada postulat epistimologis dari ( formgeschicte) dan prosedur filologisnya, pendekatan yang digunakan dalam kritik leteratur, teori simiotik asal ma’na struktural serta perspektif yang dibuka oleh difinisi antropologis yang dikutip sebagai epigraf pada bab ini. Semua maslah teritis ini dengan kerangka kognitif dimana ia ditafsiri perlu direvisi secara hati-hati di diskusikan kembali dan dinilai kembali atau pun diumumkan engan bentuk baru serta perangkat alasan yang ada.
Bagaimana orang mengungkapkan misalnya akan pembacaan keimanan vertikan menurut metafor tanzil-turunnya kata-kata tuhan dari langit- berkitan dengan pilihan positifis yang ditekankan oleh kritik secara modern yang secarta husus fokus kepada sejarah radikal akan segala sesuatu yang terkait keberadaan manusia termasuk masalah agama. Penafsiran abad pertengahan memasukkan banyak sumber pada riwayat khabar nama Nabidan pahlawan yang dipinjam dari sumber dan memori eksternal terhadap tradisi Arab dan Al-quran. Praktek yang umum ini tidak mempengaruhi status wahyu walaupun penentangan berkembang terhadap literatur Israiliyat. Konsep kesejarahan memang dikembangkan dalam historis muda tetap tidak bisa memikirkan pemikiran klasik begitu juga dengan pemikiran histiografi cerita mitos baru-baru ini dicampur baurkan dengan fakta sejarah. Saat ini banyak komentator untuk mencoba membatasi pengaruh tersebut dalam ayat-yat hukum dengan alasan bahwa ia diturunkan dalam semangan dan untuik keperluan masyarakat arab secara husus dizaman Nabidibenak para refirmer ini penafsiran pragmatis terhadap ayat-ayat hukum mestiya mengikutkan revisi terhdap teologi pewahyuan tadisisonal. semua kontradiksi tersebut, bricolage idiologis dan kekosongan keilmuan pemikiran Islamkontemporer adalah terletak disini, belum terpikirkan, pertentangan antara pembacaan Al-quran hirizontal vertikan sebagai teks wahyu (bukan lagi wacana orang).
Pada tahun-tahun terakhir ini studi Al-quran dikesarjanaan barat telah mulai memperlebar keingin tahuan mereka terhadap dimensi wahyu yang lama terabaikan contoh terbaru untuk menggambarkan ini adalah ……………………………………………………………………. Judukl buku. Penafsiran dan penafsiran baru yang disediakan oleh study tersebut secara pasti akan menarik penelitian yang saya ajukan disini. Saya berencana menunjukkan bagaimana kesadaran ini semakin menjaga jarak dari Islamologi klasik tanpa membagi perhatian mereka secara mendalam tentang status kognitif dan fungsi fenomena agama. Mari kita pergi lebih jauh dalam hal ini dan mengeksplorasi perangkat, kerangka teoritis serta cakrawala makna yang diberikan oleh pena karena yang ada sebagaimana yang dilakukan kepada study agama secara langsung.