Tradisi Menulis dan Pesantren
Oleh: Abdus salim*
Pesantren di era globalisasi ini memiliki sejumlah tantangan dan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, dalam rangka untuk menghadapi masa yang akan datang. Kalau para ulama’ klasik dulu ada banyak cara yang digunakan untuk menjawab tantangan di zamannya dan mereka cukup teruji dan produktif menghasilkan berbagai karya yang sampai sekarang masih tetap menjadi rujukan yang urgen. Dan menjadi pusat kajian intens di pesantren tradisional maupun modern.
Aktifitas keilmuan pun tidak dapat dipisahkan dari karya, sebagai pengikat agar supaya ilmu tersebut tidak hilang ataupun musnah. Makanya, disekolah manapun pastinya diwajibkan bagi siswanya untuk membawa buku dan pensil sebagai instrumen pengenalan mereka untuk menulis yang pada akhirnya akan menghasilkan tulisan, tetapi zaman sekarang telah bergeser kearah kemajuan tekhnologi-informasi yang hanya cukup membawa noote book sebagai pengganti dari alat sebelumnya dan ini masih akan berlangsung mengalami perubahan kearah yang lebih canggih. Dan suasana ini sudah menjadi pemandangan yang biasa dilihat di kawasan Eropa dan kawasan
Pesantren yang notabene berada dipinggiran desa menjadi sasaran berikutnya dari alat-alat tersebut dan hal ini tidak dapat dinafikan. Merebaknya hasil kreasi manusia cerdas ini diberbagai belahan dunia cukup membawa kemajuan yang signifikan dalam dunia tulis-menulis. Tengok saja para penulis yang besar di pesantren seperti Habiburrahman el-Zhirazy yang cukup fenomenal dengan karya novelnya ayat-ayat cinta dan harap-harap menunggu posting film ketika cinta bertasbih yang akan dilayar lebarkan, masih ada lagi Dr. Abd. A’la generasi pesantren yang sukses dalam berbagai karya pesantren yang selalu mendapat apresiasi positif dikalangan akademik.
Pendidikan dilingkungan pesantren tidak secara spesifik mengajari untuk menjadi penulis, tetapi bagaimana menjadi penerus para ulama’ dahulu yang sealalu dibekali dengan nilai-nilai moralitas dan akhlak yang tinggi. Dengan harapan dapat menjalankan segaris dogma agama. Namun masih ada sebagian besar mengatakan bahwa menulis itu sulit dan hanya dapat dikuasai orang-orang tertentu.
Menulis itu butuh ketaletenan dan ketekunan menjalani proses. Kesulitan menulis dilatarbelakangi karena keterbatasan data yang dimiliki dan kekurangan bahan bacaan yang bergizi yang tidak dapat memenuhi kebutuhan yang sebenarnya dari potensi yang dimiliki. Konsekuensi ini dapat dilihat ketika menulis hanya akan menghasilkan pengulangan dari apa yang pernah dialami dan dirasakan tanpa menghasilkan dari apa yang seharusnya dihasilkan. Keterampilan dapat diperoleh dari hasil olah kesabaran, ketekunan, ketelatenan dan terus berlatih tanpa henti. Dan untuk selanjutnya harus belajar kepada salah satu tokoh yang dikagumi untuk membentuk karakter tulisannya, bukan belajar untuk menjadi plagiator melainkan untuk menemukan irama tulisannya.
Kitab-kitab yang dipelajari pesantren adalah hasil kreatifitas para ulama’ klasik yang produktif. Maka, jangan heran kalau pesantren itu selalu menghasilkan tokoh-tokoh yang fenomenal dan cukup terkenal dalam tulisannya. Karena memang dari sono-nya.
Dibalik kreatifitas itu tersimpan sebuah misteri yang sampai saat ini masih dinyakini oleh masyarakat tradisional sebagai anugerah barokah dari do’a pengasuh pesantren sebagai orang yang memiliki strata tinggi dikalangan masyarakat tradisional.
*Penulis adalah Santri PP. Annuqayah Latee
Guluk-guluk Sumenep Madurasekaligus Mahasiswa STIK-Annuqayah.
0 komentar:
Posting Komentar