WALI DAN SAKSI NIKAH
DALAM ISLAM
( Ditinjau Dari Aspek Teologis dan Sosial-Budaya)
Oleh: Abdus Salim*
A. Pendahuluan
Islam adalah agama dan jalan hidup bagi semesta alam yang berdasarkan kepada firman Allah yang termaktub daalam alqur'an dan sunnah rasulullah. Ada beberapa seperangkat peraturan yang mengikat pada kehidupan manusia dari berbagai aspek kehidupan manusia menjadi tetap beradab dan bernilai ibadah jika saja semua praksis itu di orientasikan kepada Tuhan. Merujuk dalam ikatan pernikahan dalam islam terkandung beberpa nilai yang bersifat sakral, di mulai dari pertama (khitbah) sampai ia menjadi suami-istri, tidak lepas dari berbagai nilai dan aturan yang bersifat religius yang harus di taati. Namun dalam tulisan makalah ini lebih menitik beratkan pada pembahasan wali dan saksi nikah sesuai dengan cover pemahaman para intelektual islam dalam memahami hukum-hukum Allah (syari'ah).
Penulisan ini sengaja menyajikan sedikit banyak mengakomodir pendapat para ulama' klasik, sehingga para khalayak pembaca dapat sedikit tersumbangkan dari tulisan ini untuk lebih mendalami dan memahami pendapat para ulama', terutama mazhab yang empat. di antara sekian argumentasi para intelektual islam klasik menyertainya dengan dalil dan metode analitik yang cukup di terima oleh akal (logis) dan tuntutan itu hadir di hadapan kita untuk lebih bijak dalam memilih pendapat serta pilihan itu dapat di pertanggungjawabkan, karena penulis menyakini diantra para founding father mazhab adalah juga manusia yang tidak mungkin selalu benar 100% dalam menyikapi suatu hukum, baik dari segi interpretasi, metode berfikirnya, pendakatan yang di pakai atau bahkan dari segi kapasitas keilmuan yang mereka miliki dan mustahil terlepas dari kepentingan semuanya ada kepentingan baik politik, kolektif maupun individu dll. Tetapi bukan berari penulis meragukan pendapat para khazanah intelektual islam, mengingat hasil interpretasi mereka berada dalam tataran dhonni yang bersifat sangkaan saja, kalau di presentasekan nilai kebenarannya mencapai 75% dan bukanlah kebenaran sejati itu sendiri , maka dari itu menyikapi hukum haruslah dengan memakai pendekatan logika pradoksal, bukan dengan logika linear , sehingga dapat tercipta sebuah hukum yang benar-benar membumi di kalangan umat manusia.
B. LATAR BELAKANG MASALAH
Problematika kehidupan manusia senantiasa di mulai sejak manusia memahami dan dapat mengenal arti kehidupan, begiupun manusia sebagai subyek maupun obyek dalam mengembang biakkan manusia yang lain dan media yang di pakai dalam islam adalah dengan adanya sebuah ikatan pernikahan, tanpa adanya pernikahan hubungan anatara laki-laki dan perempuan adalah tidak di benarkan, bahkan hasil produkisnya mendapatkan predikat lebel tidak halal alias haram (zina). Sebelum menginjak lebih jauh dalam jenjang persoalan pernikahan ada beberapa rukun serta kewajiban yang harus di lakukan, termasuk wali dan saksi nikah. Ada sebagian ulama' berpendapat pernikahan tanpa wali dan saksi nikah adalah tidak syah, mak aotomati s wal dan saksi nikah adlajh sangat di butuhkan dalam pernikahan dan argumen ini, di sertai dengan beberapa argumentasi-analitik yang sulit untuk di bantah. Sedangkan pada sisi mengatakan tanpa wali dan saksi nikah pun dalam pernikahan tetap syah dengan syarat harus memuhi kriteria lain.
Di sinilah penulis mencoba mengulas dari hasil interpretasi ulama' yang cukup aktual dan kontroversial, untuk di jadikan sebagia rujukan dan untuk mengetahui lebih dalam tentang pernikahan, karena realitas yang terjadi, ada sebagian pernikahan dengan tanpa menghadirkan wali dan saksi nikah, tetapi dengan kriteria yang lian yang harus dipenuhi dan pemahamn sperti in di kalangan kita suatu hal yang masih tidak lazim di dalam tardisi intelektual islam indonesia dan masih terdapat banyak praktek-praktek yang cukup janggal di benak kita semua.
C. PEMBAHASAN
a.Definisi Wali Nikah
secara etimlogis, alwilayah (wali) ialah berasal dari ungkapan wala' asy-syaya' wa ala' alayh iwilayatan/walayatan yang berarti "Mengusainya". ada juga yang mengatakan wala' fulanan wilayatanwa walayatan "membantu dan menolongnya". Sedangkan alwalayatan di tafsirkandengan pertolongan, sedangkan al wilayat di tafsirkan kekuasaan dan kekuatan[1]. Dari makna demikian di sebutkanlah bahwa wali bagi seorang wanita ialah yang mempunyai hak/kekuasaan untuk melakukan akad pernikahannya dan ia tidak membiarkannya di ganggu oleh orang lain.
Sedangkan dalam pengertian terminologis perwalian (wilayah) ialah kekuasaan secara syariat yang di miliki orang yang berhak untuk melakukan tasrharuf (aktifitas) dalam kaitan dengan keadaan/urusan orang lain utnuk membantunya.[2] dan ada pemahaman lain tentang wali perwakilan dengan definisi suatu wewenang syar'ie atas segolongan manusia, yang di limpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang di kuasai tersebut, demi kemaslahatan sendiri.[3]. semua pengertian ini mengacu kepada kodrat kemanuisaan di mana perempuan sangat membutuhkan kehadiran wali.
b. Urutan Wali Nikah
Ada beberapa macam wali yang dapat bertindak sebagai wali nikah antara lain sebagai berikut;
a.. ayah
b. kakek dan seterusnya keatas dari garis laki-laki.
c. saudara laki-laki kandung.
d. saudara laki-laki seayah
e. kemenakan laki-laki kandung
f. kemenakanan laki-laki seayah
g. paman kandung
h.paman seayah
i. saudara sepupu ;laki-laki kandung
j. saudara sepupu laki-laki seayah
k. sultan/ hakim
diantara uratan di atas, yang harus menjadi wali nikah sesuai dengan urutannya.
C. Macam- Macam Wali Dalam Islam
1. Wali Nasab.
Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang mempunyai hubungan darah patrinial dengan calon mepelai perempuan. Wali nasab terbagi menjadi dua a). wali mujbir, yaitu wali nasab yang berhak memaksakan kehendaknya utnuk menikahkan calon mempelai perempuan tanpa meminta izin kepada wanita yang bersangkutan hak yang di miliki oleh mujbir di sebut dengan hak ijbar. Wali yang memiliki hak ijbar ini menurut imam syafi'ie hanya ayah, kakek dan seterusnya keatas. Para ulama' berpendapat bahwa wali mujbir dapat mempergunakan hak ijbar, apabila terpenuhi yarat sebagai berikut:
a) Antara wali mujbir dengan calon mempelai tidak ada permusuhan.
b) Laki-laki pilihan wali harus sekufu' dengan wanita yang akan di kawinkan
c) Di antara calon mempelai tidak ada permusuhan
d) Maharnya tidak kurang dari mahar mistsil
e) Laki-laki pilhan wali akan memenuhi kewajiban terhadap istri dan tidak ada kekawatiran menyengsarakan.
b) wali nasab biasa, yaitu wali nasab yang tidak mempunyai kewenangan untuk memaksa menikah tanpa izin/ persetujuan dari wanita yang bersangkutan. Dengan kata lain wal ini tidak memunyai kewenangan mempergunakan hak ijbar.
2.Wali Hakim
Wali hakim adalah wali nikah yang di tunjuk oleh mentri agams / pejabat yang di tunjuk olehnya, yang di beri hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah, tetapi wewengan wali nasab berpindah ketangan wali hakim apabila;
a.ada pertentangan di antara para wali itu
b. bilamana wali nasab tidak ada atau ada tetapi tidak mungkin mengadirkannya, atau tidak di ketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal/enggan. Wali adlal adalah wali yang enggan menikahkan wanita yang telah baligh dan berakal dengan seorang laki-laki pilihannya.
Sabda Nabi SAW.
……………………………………………..
………………………………………
Wanita mana saja yang nikah tapa izin walinya pernikahaannya itu batal, pernikahannya itu batal apabila sang suami telah melakukan hubungan seksual si wanita itu sudah berhak untuk mendapatkan maskwin lantaran apa yang telah ia buat halal pada kemaluan wanita itu. Apabila para wali itu enggan, maka sultanlah yang menjadi wali orang yang tidak ada walinnya.[4]
Syari'at islam menetapkan adanynya wali hakim ini adalah untuk menghadirkan kesukaran pelaksanaan suatu pernikahan, sedangkan pernikahan itu meurpakan kebutuhan dan pelaksanaan pernikahan itu adalah wajar karena wanita itu ingin di nikahkan kepada seoarang laki-laki yang sepadan dan sanggup membanyar mahar mitsil, sedangkan wali nasab tidak ada, atau tidak mau menikahkannya , apabila kedua calon mempelai tidak mau menunda pernikahannya sampai ada wali nasab, maka hakimlah yang bertindak sebagai wali nikah, sebab ada hadits yang isinya tidak dapat menunda masalah nikah ini manakala sudah wajar.
Sabda nabi SAW:
Artinya; Ada tiga perkara yang tidak boleh di tunda –tunda yaitu; sholat bila telah waktunya, jenasah bila telah siap untuk di kebumikan dan perempuan bila ia telah di temukan dengan pasangannya yang sepadan.[5]
D. Syarat Wali Dan Saksi Nikah
Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad perkawinan oleh karena itu tidak semua orang dapat di terima menjadi wali atau saksi, tetapi hendaklah orang orang yang memiliki berbagai sifat berikut;
- islam
- baligh
- berakal
- laki-lakio
- adil
- laki-laki, persyaratan yang terakhir ini sesuai dengan sabda nabi:
Aritnya: Dari abu r.a bahwa rasullullah saw. Bersabda: perempuan tidak boleh menikah perempuan lainya dan tidak boleh pula menikahkan dirinya (HR ibnu majah dan daruqutni)[6]
E. Kedudukan Wali Di Mata Hukum
Madzhab malikiyah, syafi'iyah, hambaliyah, serta mayoritas fuqaha elah sepakat pentingnya keberadaan wali dalam akad pernikahan. Setiap pernikahan tanpa menghadirkan wali maka pernikahan tersebut menjadi batal-tidak sah. Jadi, seorang perempuan tidak mempunyai hak untuk melangsungkan akad pernikahan dengan sendirinya secara langsung dalam kondisi bagaimanapun. Hal ini para ulama mendasarkan pendapatnya pada hadits nabi saw, yang diriwayatkan oleh ibnu hibban. Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh imam ahmad dan imam yang empat hadits dari abi burda ibnu musa nabi bersabda:………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………...[7]
Artinya: dari Abu Burda ibnu Abu Musa dari ayahnya, r.a. bahwa rasulullah saw bersabda: " tidak sah nikah kecuali dengan wali". Riwayat Ahmad dan Imam empat. Hadits shahih menurut Madiny, Tirmidzi dan Ibnu Hibban.
Menurut pendapat ulama', maksud hadits di atas, kata "la nikaha illa bi waliyyi" adalah penafsiran diarahkan, baik kepada zat syariah (substansi syariat) sebab zat yang ada, yakni gambaran akad tanpa wali bukan merupakan syariat. Atau, penafian tersrbut diarahkan atau dimaksudkan kepada sah, yang hal itu merupakan salah satu diantara dua kiasan yang paling dekat kepada zat-yang dinafikan, sehingga nikah tanpa wali menjadi tidak sah (batil).
Sementara madzhab Hanafiyah mengatakan bahw awanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri calon mempelai pria dan boleh melakuka akad dengan sendiri, ia mendasarkan pendapatnya pada firman Allah SWT…………………………………………………….
Artinya: " maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka-wanita-wanita menikah dengan bakal suaminya (QS: 2:232).
Menurut madzhab Hanafiyah maksud kata nikah disandarkan kepada mereka dalam kata "an yankihna", - adalah berarti sah pernikahan mereka tanpa wali.[8] .
Dalam pandangan penulis, pendekatan yang dipakai oleh Hanafi yang berbeda ini dipengaruhi oleh letak geografis dan latar belakang budaya sosial yang berkembang di masyarakat pada waktu itu. Sehingga penafsirannya cenderung lebih elastis dan terbuka. Hanafi adalah seorang ulama yang tinggal di wilayah perkotaan metropolitan, dimana tingkat dan kapasitas keilmuan seseorang tidak membedakan jenis kelamin. Sehingga wanita pun memiliki hak otoritas untuk menentukan suatu hukum (dalam hal ini masalah nikah).
Jika dikontekstualisasikan di jaman sekarang dimana "kehidupan" wanita sudah tercerahkan dan peran serta kemampuan mereka tidak jauh berbeda dengan laki-laki maka tidak menutup kemungkinan ada beberapa revisi dalam satus wali nikah shingga wanita dapat menentukan sendiri siapa calon suaminya walaupun tanpa haru menghadirakan walinya.
*Penulis adalah Santri PP. Annuqayah Latee Guluk-guluk Sumenep Madura, sekaligus Mahasiswa STIK-Annuqayah Konsentrasi pada Jurusan Mumalah.
[1] Prof. Dr. HJ. Huzaenah tahido yanggo, MA, Fiqih Anak Metode Islam Dalam Mengasuh Dan Mendidik Anak Ser
ta Hukum- Hukum Yang Berkaitan Dengan Aktifitas Anak, Jakarta Sel: PT Almawardi Prima, 2004, hal: 306-307.
[2] Ibid.
[3] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lemtera Hati, cet IV,.2000, hal : 345.
[4] Lihat, http:// tafany. Wordpress.com/2007//12/17/r.
[5] Drs. H> Djumaan Nur, ibid, hal 73-74.
[6] Ibid, hal 75.
[7] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Jakarta: IKAPI, cet.40, 2007, hal:384.
[8] Ibnu Hajar Atsqalani, terjemah hadits bulughul maram, dialih bahasakan oleh Prof. Drs. KH. Masdar Helmi, Bandung: CV. Gema Risalah Press. 1994, hal: 332.
0 komentar:
Posting Komentar