Nama : Abdus Salim Jurusan/Smt : Muamalat / VI Dosen : Ach. Maimun Syamsuddin M.Ag Materi : PDMI
Mengkaji Ulang Diskursus
Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Perspektif Islam
Pada tahun 80-an. PBB mendeklarasikan HAM. Dan jauh sebelumnya 14 abad Hijriah yang silam. Islam sudah terlebih dahulu mendeklarasikan HAM, yang ditandai dengan kebebasan beragama. Terbukti al-Qur’an telah melegitimasi dengan kehadiran ayat Laikraha fiddin menjadi indikasi dotrin secara –konsepsi-normatif Islam, memiliki toleransi-kebebasan beragama yang tinggi. Dan ajaran ini tidak pernah terjadi pada “sunah” sebelemunya, sunnah dalam konteks “tradisi”. Dengan adanya pengakuan ini, opini barat yang selama ini menganggap Islam adalah agama yang menjustifikasi setiap kekerasan. Maka tanggapan miring ini tidaklah pernah dibenarkan. Karena dotrin Islam tidak pernah mengakui semua tindak-kekerasan yang di lakukan oleh siapa pun, apalagi kekerasan itu dibungkus dengan mengatasnamakan ajaran agama.
Mengkaji HAM yang ditinjau dari perspekstif sekarang. Tidaklah pernah menunjukkan ke fair an. Karena konteks sosio-kultur yang berbeda. Terkait dengan jarak masa-waktu yang cukup jauh. Maka perspektif tersebut sarat dengan berbagai kepentingan. Terutama double standart yang diterapakan barat, dalam rangka untuk mensubordinasi Islam dan atau memarginalkan dari pandangan dunia.
Pengkajian antara keduanya, sepintas lalu antara Islam dan HAM, tidak pernah menemukan titik temu yang jelas. Bahkan saling tarik-menarik Karena di latar belakangi perbedaan konsep masing-masing. Islam secara komprehensif-inheren meliputi HAM yang didengung-dengungkan barat. Namun dalam Islam terdapat batas-batasan yang perlu di perhatikan. Kebebasan hak asasi dibatasi oleh hak orang lain dan nilai-nilai etika wahyu. Inilah yang tidak pernah diperhatikan oleh para penegak HAM. Mereka memberikan kebebasan penuh pada individu. Dan segalanya tergantung kepada “kemauan” masing-masing individu. HAM barat tak lebih, merupakan penjelmaan dari paham kapitalis-liberalisme. Yang segalanya dinilai pada kehendak manusia dan sekaligus manusia menjadi poros pusat segalanya (antroposentris). Tanpa melibatkan peran agama di dalamnya.
Titik tekan barat menegakkan HAM-nya, pada kebijakan otoritas akal. Padahal semua kebijakan yang dihasilkan akal tak ubahnya, seperti ayunan, kadangkala kedepan dan kebelakang tak pernah punya prinsip yang jelas. Itulah kemudian para filsuf menyebut kebenaran relatif. Sebuah kebijakan yang sangat kental dengan berbagai kepentingan dan dominasinya kekuatan barat dalam memerintah Negara yang lain.
Terlepas dari itu. Kajian ini menarik apabila langsung dikontekstualisasikan dengan segala historis, sosio-kultur yang berkembang pada masyarakat yang mempunyai letak geograsfis berbeda. Bila saja HAM dihadapkan pada kondisi dan situasi yang berbeda, maka tidak jarang HAM yang diagung-agungkan barat, memunculkan berbagai aksi keras dari berbagai golongan terutama dari kalangan fundamentalis. Karena HAM yang ditawarkan barat, sedikit demi-sedikit dinyakini dapat merongrong kekuasaan mereka bahkan agama.
Maka implikasinya muncul berbagai sikap reaksioner. Dan perasaan keagamaan mereka sangat sensitive, disaat orang-orang barat dengan mudah memprovokasi. Inilah standar ganda (double movement) yang dicanangkan oleh orang-orang barat.
Dengan mengangkat isu HAM. Dan menariknya yang menjadi kajian adalah mayoritas Negara muslim timur tengah, yang notabene berwatak keras, sangat sentimen dengan wacana keagamaan, dan kentalnya paham fundamentalisme. Sebuah gerakan purifikasi dan yang ada dalam bingkai wahabi. Gerakan ini sedang genjar-genjarnya melawan pemahaman asing bagi mereka.
Ada banyak distorsi praktek keagamaan yang terjadi dalam dunia Islam. Dalam rangka mewujudkan –mempertahankan ambisi kekuasaan segilintir orang. Dan ini menjadi sorotan orang-orang barat dengan adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Semakin menambahkan kesan kerunyaman Islam adalah agama intoleran, keras,pembuat destabilisasi dan suka berperang. Dan fenomena ini perlu dikonstruksi ulang, dalam rangka menciptakan keadilan. Padahal realitasnya paraktek-praktek pelanggaran HAM sangat kental di wilayah agama barat (Kristen). Namun tetapi kenapa tidak menjadi kajian serius? Inilah salah satu yang mendukung bahwa barat benar-benar menyimpan misteri dalam HAM-nya.
“Toleransi Dalam Islam”
Sejak wafatnya nabi. Sesudahnya perjalanan sejarah Islam beberapa abad yang lalu, menyisakan berbagai masalah yang cukup kompleks. Dan bahkan tak jarang Islam dijadikan tumpangan untuk mencapai tujuannya. Dalam konteks Hak asasi manusia pada masa rasulullah sangantlah menjadi perhatian penuh. Bahkan dengan berdirinya konstitusi madinah rasullah sangat mencintai kaumnya tanpa ada monopoli. Dan semua kalangan agama mengakui kebijakan yang tak perna bernuasa diskriminasi, berbau ras, enit, apalgi kenyakinan. Selama tidak mengusik ketenangan kaum muslim. Dan siapapun mengakui akan kebijakan itu.
Dengan kehadiran peraturan tersebut. Bagi para penganut ajaran sebelumnya Egytian Churh Of Alexandria. Ajaran Islam menjadi angin segar dalam pebebasan HAM dalam konteks Islam pada masa dulu.sebuah pencapain yang patut di apreasisasi, yang terkait dengan mengguritanya peraturan, yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan (humanisme).
Hal yang dideklarasikan oleh Islam adalah kebebasan berkenyakinan, tanpa memaksakan kehendak orang lain. Apalagi di luar komunitas Islam. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Selama ini, animo barat terhadap Islam tidaklah benar. Islam mengakui pendudukan non-muslim dan diberlakuakan seyogiya umat Islam yang lain. Bahkan dalam bukti sejarah minoritas non-muslim mendapatkan perlindungan lebih dari pemerintahan Islam.
Terkait dengan pemahaman, adanya pemetaan turitorial antara komunitas muslim dengan Negara non-muslim, yang kemudian disebut dengan dar al-harb dan zimmi. Dengan pengklafisian itu agar ada kejelasan antara Islam dengan komunitas yang ada di luar. Tanpa ada maksud dan tujuan menyinggung kenyakinan agama yang lain. Penyebutan ini kemudian memunculkan pemahaman sarat mengandung makna rasial. Dan ini dianggap menjadi legitimasi terhadap sikap diskriminasi terhadap non-muslim yang berada di wilayah Islam. Padahal tidaklah demikian. Karena semua agama juga mempunyai sebutan bagi golongan yang ada di luar kenyakinannya.
Walla a’alam bisshawab
*Penulis adalah Santri PP. Annuqayah Latee
Guluk-guluk Sumenep Madura, sekaligus Mahasiswa STIK-Annuqaya
Konsentrasi pada Jurusan Mumalah.
0 komentar:
Posting Komentar